Saturday, April 27, 2013

Teringat Masa Kecil Di Museum Anak Kolong Tangga




Kadang saya kasihan sama anak-anak kecil jaman sekarang. Kemajuan teknologi yang derasnya minta ampun membuat anak-anak kecil terpenjara. Terpenjara oleh mainan-mainan modern mereka yang kini serba digital. Iya sih, emang nampak lebih menarik dengan grafis dan tema yang enchanting. Tapi ya udah, dunia main mereka ya cuma di depan atau sekitaran gadget mereka. Beda banget deh sama jaman dulu. Sebagai anak generasi 90-an, meski mainan juga sudah mulai modern semacam play station, tamagochi, tamiya, atau crush gear tapi toh saya masih sempat juga main mainan tradisional. Saya masih ingat dulu sering lari ke kebun samping rumah demi bermain layangan bahkan rela nyebur di sungai kecil depan rumah demi mencari cethul (ikan kecil yang hidup di sungai). Pokoknya, waktu itu dunia main kami maha luas dan kami bebas berlarian kemana saja. Beda banget kan sama anak-anak kecil jaman sekarang? Rasa kasihan dan prihatin mungkin pulalah yang menjadikan Rudi Corens seorang warga Belgia menginisiasi pembentukan museum untuk anak-anak yang penuh dengan mainan anak dari masa lampau. Dengan begitu, anak-anak kecil jaman sekarang tidak melulu hanya bisa duduk manis menikmati mainan digitalnya akan tetapi juga bisa tergerak untuk berdiri dan berlarian bebas di luaran sana. Penasaran?

Hujan menyambut kembali saya, papa, mama, kakak dan adik siang itu. Kami pun terpaksa berlari-lari kecil di pinggir emperan toko sepanjang Malioboro. Sesekali terdengar keluhan dari mama dan kakak saya karena tidak segera menemukan tempat yang kami tuju. Apalagi kemudian kami terpaksa melewati pinggiran Pasar Beringharjo yang becek. Tujuan kami siang itu adalah Taman Budaya. Lokasi yang menurut informasi dari internet, tempat Museum Anak Kolong Tangga berada. Museum itulah yang kami tuju sebenarnya. Kok museum anak? Iya, saya mengakui kalau pada awalnya diri inilah yang penasaran sama museum itu. Kebanyakan museum yang pernah saya kunjungi selalu museum dengan tema-tema yang serius. Sesekali pengin lihat, apakah museum dengan tema anak-anak akan menampilkan sesuatu dan memberikan kesan yang berbeda? Selain itu, adik saya memiliki perbedaan umur yang sangat jauh dengan kedua kakaknya. Tiga belas tahun kalau sama saya. Delapan belas tahun kalau sama kakak saya. Jauh kan? Oleh karena itu,  si adik yang notabenenya masih anak-anak ingin aja rasanya saya ajakin melihat dan menikmati mainan era kedua kakaknya atau bahkan era kedua orang tua. Dengan begitu, imajinasi dan dunia mainnya bisa meluas tidak hanya berada di sekitaran kotak elektronik semata.

Setelah menerobos hujan disana-sini, bertanya kesana kemari dan berjalan hilir mudik akhirnya sampailah kami di Taman Budaya. Tidak ada tanda penunjuk yang menunjukkan di area mana letak Museum Anak Kolong Tangga dari keseluruhan kompleks Taman Budaya itu. Lewat pojok kanan tidak ketemu, balik ke depan dan melihat berkeliling tidak juga ketemu. Bertanya pada orang-orang yang kami temui di Taman Budaya, mereka menggelengkan kepala. Lah? Jangan-jangan sudah pindah tempat ini museum pikir saya waktu itu. Saat itulah saya melihat tangga menuju lantai kedua Taman Budaya. Saya lalu berinisiatif untuk mengecek ke atas dan menyuruh seluruh anggota keluarga menunggu di lantai bawah. Mata saya kemudian melihat dinding berhias gambar warna warni dan boneka bambu besar di pojok sebelah tulisan pintu keluar. Akhirnya ketemu. Ternyata benar, percuma saja kami putar-puter di area bawah lha wong museumnya aja di lantai atas kok. Capek deh. -_-
Saya pun memanggil kedua orang tua, kakak dan adik yang menunggu di bawah dan menyuruh mereka mengikuti ke lantai atas. Seorang perempuan petugas tiket menyapa dan menyambut kami. Dia lalu menjelaskan secara singkat museum yang akan kami masuki sembari menarik uang tiket masuk. Uniknya, tiket digratiskan kepada seluruh anak manusia yang berusia di bawah sampai dengan 15 tahun. Sedangkan, lebih dari usia itu sudah tergolong ke kategori dewasa dan diperkenankan membayar tiket masuk seharga Rp 3.000,00/orang.

Mama Papa saya

kakak

Tanpa menunggu lama setelah mengisi buku data pengunjung, kami lalu memasuki ruangan museum yang diresmikan pada 2 Februari 2008 ini. Museum Anak Kolong Tangga memang tidak memiliki ruangan yang luas bahkan cenderung kecil. Mungkin hanya berukuran sekitar 4x5 meter dan bisa dimasuki paling banyak  sekitar 20 orang saja. Mainan-mainan yang ditampilkan mayoritas adalah mainan yang bersifat tradisional dan cenderung diproduksi dengan tangan manusia bukannya melalui mekanisme pabrik. Ada sekitar 400an mainan tradisional baik dari dalam maupun luar negeri seperti Eropa dan Asia yang dipamerkan. Mainan yang ukurannya kecil tertata rapi di dalam etalase kaca kecil yang menempel pada dinding atau di tengah ruangan, sedangkan mainan yang ukurannya jauh lebih besar berada di luar. Berbagai boneka baik yang terbuat dari tanah liat, kertas, kayu maupun plastik nampak menyambut kami di kotak etalase kaca masing-masing. Salah satu boneka yang dulu waktu kecil paling saya takuti juga ada. Itu tuh, boneka anak perempuan kecil yang kalau ditidurin matanya merem tapi kalau diberdiriin atau didudukin matanya bisa tiba-tiba melek. Dih. Untungnya, saya sekarang tidak begitu takut. Terdapat pula miniatur rumah-rumahan, kamera, panggung boneka, mobil-mobilan, gasingan, kuda-kudaan, sepeda bahkan truk yang lucu-lucu dan membangkitkan kenangan akan masa kecil saya. Waktu berasa berputar balik. Saya jadi teringat teman-teman masa kecil saya mulai dari teman di kampung, teman di TK sampai teman di SD. Teringat seru-seruan main bareng-bareng mereka dan bercanda bersama. Ingatan saya mendadak terhenti karena tiba-tiba sudah mendengar teriakan mama menyuruh saya segera keluar dan terdengar suara dentuman pintu kayu pertanda jam kunjung museum sudah habis. Oopsss.

Koleksi Museum 


Koleksi lainnya

Boneka-boneka dari Jepang

Argh, I wanna back to my childhood time

Satu lagi museum yang layak banget dikunjungi. Museum yang meskipun kecil namun mampu membangkitkan sejuta imajinasi dan kenangan bagi siapa saja yang memasukinya. Seakan-akan kita dibawa ke era lampau dimana mainan-mainan itu tengah dimainkan oleh para pemiliknya terdahulu. Sayangnya, museum ini tak begitu dikenal oleh orang. Boro-boro masyarakat luas, masyarakat Jogja sendiri saja kebanyakan tidak tahu keberadaan museum ini kok. Mungkin letaknya yang tersembunyi dan tidak begitu strategis membuatnya seperti itu. Rasa penasaran saya terbayar tuntas. Niatan membangkitkan semangat, imajinasi dan kenangan adik saya pun terlaksana. Harapan saya, semoga kelak museum ini bisa mendapatkan tempat yang lebih layak dan lebih luas sehingga pesona dari Museum Anak Kolong Tangga semakin besar khususnya bagi anak-anak. Toh, sejatinya dunia anak-anak adalah dunia yang maha luas dan tak memiliki batas. Biarkan mereka berlari, biarkan mereka bergerak, dan biarkan mereka berimajinasi. Children aren't coloring books. You don't get to fill them with your favorite colors-(Khaled Hosseini) .


Salam Kupu-Kupu ^^d

2 comments:

  1. Angga sukanya ke museum museum dan di tempat tempat bersejarah gitu yaaaak..aku lebih suka ke tampat yang menampilkan kecantikan alam, di sungai, air terjun, waduk, pantai, gunung, ah daebak!!

    wah, kalau di tulisan kamu talkactive. bagus, lanjutkan!salam buat mbak Vica, hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahah, kagak begitu sih. Aku lebih ke old town dan heritage building-oriented sebenarnya meyk. Museum suka juga karena somehow they are telling me something. :)

      Delete