Wednesday, June 22, 2016

Memanjakan Perut Di Kabupaten Blora



Blora adalah nama sebuah kabupaten yang terletak di sebelah Timur Laut dari Provinsi Jawa Tengah. Jaraknya sendiri lumayan jauh dari Kota Salatiga sebab daerah ini berbatasan langsung dengan beberapa kota di Provinsi Jawa Timur. Sebagian orang mengenal Blora sebagai daerah yang panas dan kering (terutama ketika musim kemarau), sementara sebagian lainnya mengenal Blora sebagai salah satu surga wisata kuliner di Jawa Tengah.

Sekitar tiga minggu yang lalu, Mama mendapatkan tugas dari kantornya untuk pergi ke kabupaten yang dikenal pula sebagai daerah penghasil minyak bumi ini. Mama langsung mengajak saya, kakak, adik dan Papa untuk turut serta, hitung-hitung sekalian wisata sebelum memasuki ramadan.

Kami meng-iya-kan saja tawaran itu. Berlima kami berangkat menggunakan mobil pribadi dan menempuh perjalanan darat sekitar lima jam. Perjalanan yang cukup melelahkan mengingat ada banyak titik perbaikan jalan sepanjang jalur.

Berhubung pergi dengan "menebeng" perjalanan dinas, maka kami tak memiliki agenda yang pasti. Semuanya serba fleksibel atau kalau dalam kamus keluarga kami: sesempatnya - ketika sempat ya mampir, kalau tidak ya tidak masalah.

Satu aktivitas yang paling memungkinkan untuk dilakukan selama kami berada di Blora kemarin adalah memanjakan perut dengan berwisata kuliner. Inilah ringkasan beberapa makanan khas yang berhasil kami cicipi, sesuai urutan kami mencobanya:

1. Soto Kletuk

Hujan mendadak mengguyur dengan deras pada siang pertama kami di Blora. Cuaca yang semula gerah, berubah menjadi dingin. Teringat belum makan siang, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum mencari hotel tempat bermalam.

Pilihan kami jatuh kepada soto kletuk. Berhubung kami tidak tahu dimanakah penjual soto kletuk paling enak seantero Blora, kami asal saja mampir ke salah satu penjual yang berada di Jalan Iskandar, tepatnya di Kompleks Koplakan - suatu kompleks yang dipenuhi oleh deretan penjual makanan asli Blora.

Begitu turun dari mobil, kami dikejutkan dengan teriakan seluruh penjual di Kompleks Koplakan. Riuh sekali dan membuat kami sedikit terkejut. Seluruh teriakan penyambut tadi langsung berhenti begitu kami memutuskan masuk ke Kedai Soto Ayam Kletuk Bapak Sumar.

Sembari sang pelayan meracik pesanan kami, saya mengamati apa saja yang dimasukkannya ke dalam mangkok. Isian soto kletuk hampir sama dengan isian soto dimanapun, yaitu: nasi (dengan jumlah yang sangat sedikit), bihun, tauge rebus, suwiran ayam, irisan telur rebus, dan cacahan seledri.

Penjual Soto Kletuk tengah menyiapkan
pesanan kami.

Hal yang membuat berbeda adalah ditambahkannya potongan-potongan singkong goreng berbentuk dadu kecil. Potongan singkong ini saat dimakan akan berbunyi kletuk-kletuk karena sedikit keras. Bunyi itulah yang mendasari penamaan dari soto kletuk.

Potongan singkong kering  di kuah itulah
yang membuat Soto Kletuk terkesan unik. 

Soal rasa, soto kletuk sendiri condong ke arah manis karena kuahnya telah ditambahkan kecap. Porsinya bagi orang normal mungkin cenderung sedikit, tapi buat saya sih pas. Satu porsi soto di kedai ini dibanderol seharga Rp 10.000,00 per porsi.


2. Sate Ayam dan Kambing Blora

Di antara seluruh kuliner khas yang ada di Blora, mungkin sate ayam dan kambingnya adalah yang paling tersohor. Ada banyak sekali penjual sate ayam dan kambing yang bisa kami temukan di kabupaten ini, mulai dari Kompleks Koplakan, pinggiran jalan, hingga di dalam gang.

Berbekal informasi dari salah seorang petugas hotel tempat kami menginap, kami melaju ke arah Kompleks Stasiun Blora untuk mencicipi sate ayam dan kambing yang menurutnya enak. Sesampainya disana, kami bingung menentukan  warung sate manakah yang dia maksud karena ada sekitar tiga warung penjual sate sederetan itu.

Sekali lagi, kami asal saja berhenti di warung sate ayam dan kambing yang terlihat paling ramai oleh pengunjung. Malam itu Warung Sate Ayam "Duta Rasa" Mas Soeprat adalah warung dengan jumlah pembeli paling banyak.

Setelah mendapatkan tempat duduk, kami langsung memesan masing-masing sate ayam dan kambingnya agar bisa tahu apa perbedaan kedua sate itu dengan sate di daerah lain. Asap pembakaran sate langsung merebak memenuhi warung yang sempit ini, tapi aromanya sungguh menggugah selera.

Suasana ruangan dalam Warung Sate Ayam dan Kambing Blora
 yang kami datangi.


Saya kurang paham daging-daging itu telah dibumbui apa, tapi selama proses pembakaran saya melihat kalau bapak penjual mencelupkan setiap tusuk sate ke dalam saos encer sebelum meletakkan mereka di atas bara api. Saosnya bukan saos kecap, tapi lebih serupa dengan kuah gulai.

Pengunjung yang datang kemari bisa memilih nasi atau lontong sebagai teman makan sate. Uniknya, ada taburan bawang merah goreng di atas porsi nasi atau lontong yang kita pesan. Ketika sate pesanan kami datang ke meja, saya bisa melihat kalau berbicara soal ukuran - potongan daging baik sate ayam maupun kambing, relatif lebih besar dibandingkan sate di daerah lain.

Our (fat) feast! Yeay!

Dalam setiap tusuk sate juga terdiri dari bagian yang berbeda-beda, seperti: daging, jeroan, dan kulit (pada sate ayam) atau lemak (pada sate kambing). Dibandingkan rasa manis dan pedas laiknya sate di berbagai daerah, Sate Ayam dan Kambing Blora lebih menonjol di rasa gurihnya. Entah pengaruh dari topping bawang merah goreng yang bisa kami temukan di sate, kuah dan nasi, atau pengaruh dari bumbu daging tadi.

Saya lebih merekomendasikan untuk mencoba sate ayam. Sate kambingnya kemarin masih terasa alot dan cepat bikin blenger. Harga satu porsi sate ayam di Warung Mas Soeprat sebesar Rp 20.000,00 , sementara satu porsi sate kambing harganya Rp 40.000,00.

3. Kopi Kothok

Kemarin, kami menginap di hotel yang terletak persis di sekitaran Alun-Alun Kabupaten Blora. Posisi hotel ini sangat menguntungkan karena selain strategis, ada geliat kuliner yang berlangsung ketika malam  dan pagi menjelang di alun-alun tersebut.

Saat iseng berkeliling alun-alun di malam hari, mata saya tanpa sengaja menangkap nama "kopi kothok" di salah satu tenda penjual yang menggelar lapak di dalam lapangan. Saya pun bertanya kepada Papa apa kopi kothok itu sebenarnya. Pertanyaan yang sejurus kemudian berubah menjadi tantangan. Iya, tantangan minum kopi.

Sejujurnya, saya bukanlah orang yang doyan minum kopi. Selama ini, setiap habis minum kopi entah kenapa ada saja efek yang mengikutinya, mulai dari mata susah merem dalam waktu yang lama, hingga perut agak bermasalah.

Anehnya, efek ini gambling, kadang muncul, kadang tidak. Tetapi, sekalinya muncul, duh rasanya menyiksa sekali. Dari situlah, saya sebisa mungkin berusaha menghindari minum kopi.

Namun for the sake of curiousity, I accepted that challenge. Konon, kopi kothok pertama kali dikenal di Cepu - nama sebuah kecamatan yang ada di Kabupaten Blora. Hal yang membedakan antara kopi kothok dengan kopi-kopi lainnya, terletak selama proses pembuatan.

Jadi, kopi kothok tidak dibuat di dalam gelas, melainkan di dalam panci rebusan. Yup, kopi kothok diracik langsung di dalam panci dengan memasukkan air, gula dan bubuk kopi lantas ditunggu hingga mendidih.

Kopi Kothok yang manisnya keterlaluan. Eh, apa gara-gara
saya lebih prefer kopi diminum tanpa gula, ya?

Berhubung saya memang bukan pecinta minum kopi, saya sukar menjelaskan sensasi minum kopi semacam ini. Saya hanya merasakan kopi kothok terasa terlalu manis buat saya, dan aromanya terasa lebih kuat. Satu cangkir kopi kothok di warung tenda yang kami sambangi dihargai sebesar Rp 4.000,00 saja.

4. Nasi Pecel Bungkus Daun Jati

Saya dan adik adalah dua orang pertama yang bangun di hari kedua kami. Daripada bingung hendak melakukan apa, saya ajak saja adik untuk berkeliling alun-alun di pagi hari. Saat itu, waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, tapi alun-alun sudah diramaikan oleh warga Blora yang sibuk berolahraga.

Baru beberapa langkah berjalan menyusuri alun-alun, mata saya langsung terpaku pada tiga wanita yang menggelar lapak makanan mereka di lantai lapangan. Sembari berjalan, saya melihat salah seorang dari wanita itu meracik aneka sayuran yang kemudian dibungkus menggunakan daun besar berwarna hijau.

Para penjual nasi pecel bungkus daun jati di Alun-Alun.


"Ah, nasi pecel bungkus daun jati!", pekik saya dalam hati.

Selesai berkeliling dua putaran, saya pun menyambangi ketiga wanita itu dan memesan dua bungkus nasi pecel untuk saya dan adik.

"Mau biasa atau campur, mas?", tanya salah seorang wanita penjual itu. Saya diam sejenak, tak paham apa perbedaan di antara keduanya.

"Kalau campur nanti selain sayuran rebus juga ditambahkan kering tempe dan mie goreng, mas", lanjutnya seolah mengerti raut kebingungan di muka saya.

Oalah! Saya akhirnya memesan satu nasi pecel campur dan satu nasi pecel biasa beserta beberapa tempe mendoan kemarin. Saya memilih untuk membungkus pesanan saya saja, agar bisa dimakan di dalam hotel.

Makannya sambil glesotan di lantai kamar hotel pun jadi.
Yummy!

It was perfect. Memakan nasi pecel di pagi hari terasa super nikmat. Porsinya yang tak terlalu banyak beserta sambal kacang yang tak terlalu pedas, membuat nasi pecel bungkus daun jati ini bagai menu sarapan sederhana nan istemewa. Tempe mendoannya juga enak, berbalur tepung tipis dan digoreng kering, renyah banget.

Sisa-sisa tempe mendoan yang enak banget. :3

Satu porsi nasi pecel bungkus daun jati dijual seharga Rp 4.000,00 per porsi, sementara aneka lauk pelengkap seperti gorengan dijual mulai dari Rp 5.00,00 saja. Ah, mau lagi!


****

Di antara semua daerah yang ada di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Blora menurut saya adalah salah satu daerah yang menawarkan makanan khasnya dengan harga terjangkau. Oke, Sate Kambing Blora memang agak pricey, tapi sebanding dengan potongan daging yang besar-besar. Namun selebihnya, kebanyakan sangat ramah dengan isi dompet. 

Nah, ketika kalian kebingungan hendak melakukan apa manakala berada di Kabupaten Blora. Saya menyarankan untuk berwisata kuliner alias memanjakan perut sebagai salah satu aktivitas yang wajib dicoba. Percayalah, kalian tak akan menyesal. 


Salam Kupu-Kupu dan mari menjadi pejalan yang bertanggungjawab. ^^d

No comments:

Post a Comment